Jakarta, 14 Juli 2025 – Fakta mengejutkan terungkap dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Dari total 55,9 juta hektar lahan bersertifikat di Indonesia, hampir setengahnya (48%) ternyata dikuasai hanya oleh 60 keluarga saja. Temuan ini memicu keprihatinan serius tentang kesenjangan penguasaan tanah dan dampaknya terhadap kemiskinan struktural di Indonesia.
Fakta Kesenjangan Penguasaan Lahan Bersertifikat di Indonesia
- Distribusi Tidak Merata:
- Total lahan bersertifikat: 55,9 juta hektar
- Yang dikuasai 60 keluarga: 26,8 juta hektar (48%)
- Sisanya (52%) diperebutkan oleh 270 juta lebih penduduk Indonesia
- Modus Penguasaan:
- Melalui berbagai perusahaan (PT) dengan beneficial ownership sama
- Pola warisan dan penggabungan usaha turut memperparah konsentrasi kepemilikan
- Perbandingan Internasional:
- Indonesia termasuk 5 besar negara dengan ketimpangan kepemilikan tanah terburuk di dunia
- Lebih buruk dari Brasil (35% dikuasai 1% populasi) dan Filipina (40% dikuasai 2% populasi)
Pernyataan Resmi Menteri ATR/BPN
Menteri Nusron Wahid menjelaskan temuan ini dalam konferensi pers di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan:
*”48% dari 55,9 juta hektar itu hanya dikuasai 60 keluarga. Kalau dilacak beneficial ownership-nya, semuanya mengerucut ke kelompok yang sama. Inilah akar kemiskinan struktural kita.”*
Penyebab Menurut Nusron:
- Kebijakan Masa Lalu yang tidak pro-rakyat
- Sistem Warisan Kolonial yang belum sepenuhnya diperbaiki
- Lemahnya Pengawasan terhadap akuisisi lahan besar-besaran
Dampak Kesenjangan Kepemilikan Lahan Bersertifikat di Indonesia
- Ekonomi:
- Sulitnya akses rakyat kecil ke tanah produktif
- Upah buruh tani tetap rendah karena ketergantungan pada pemilik lahan
- Sosial:
- Migrasi besar-besaran ke kota
- Konflik agraria yang terus berulang
- Lingkungan:
- Alih fungsi lahan besar-besaran
- Deforestasi untuk perkebunan skala besar
Berita lainnya: BRICS 2025: Indonesia Bergabung sebagai Anggota Penuh, Trump Ancam Tarif Ekonomi
Langkah Strategis Pemerintah
Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan tiga prinsip reformasi agraria:
- Keadilan: Memastikan akses yang setara
- Pemerataan: Membatasi kepemilikan per individu/kelompok
- Kesinambungan: Menjaga fungsi ekologis tanah
Rencana Aksi:
- Audit menyeluruh kepemilikan lahan
- Reformasi sistem sertifikasi tanah
- Program redistribusi tanah untuk petani kecil
- Pemberian sertifikat tanah gratis untuk masyarakat miskin
Respons Pakar dan Aktivis
Dr. Surya Tjandra (Pakar Agraria):
“Ini warisan sistem feodal yang diperparah kebijakan Orde Baru. Butuh keberanian politik untuk membongkar oligarki tanah.”
Dewi Kartika (Konsorsium Pembaruan Agraria):
*”Selama 20 tahun terakhir, konflik agraria rata-rata 500 kasus per tahun. Data ini membuktikan akar masalahnya.”*
Studi Kasus: Dampak di Tingkat Lokal
Di Banyuwangi, petani hanya menguasai 0,3 hektar rata-rata, sementara satu perusahaan perkebunan menguasai 12.000 hektar. Akibatnya:
- 60% pemuda desa memilih urbanisasi
- Produktivitas pertanian rakyat stagnan
- Ketergantungan pada pemilik modal besar
Solusi Inovatif yang Bisa Diterapkan
- Pajak Progresif untuk kepemilikan di atas 10 hektar
- Insentif bagi perusahaan yang membagi lahan ke petani kecil
- Digitalisasi sistem kepemilikan tanah
- Pendampingan hukum bagi masyarakat adat
Tantangan Besar di Depan
Temuan ini membuka mata publik tentang salah satu akar ketimpangan di Indonesia. Meski pemerintah telah menyiapkan langkah-langkah perbaikan, jalan menuju keadilan agraria masih panjang dan berliku.
“Ini bukan sekadar masalah tanah, tapi tentang keadilan sosial dan martabat manusia,” tegas Nusron menutup konferensi pers.